Senin, 05 Maret 2012

HUKUM ISLAM

A.    Pendahuluan
Nabi Muhammad SAW mendapat wahyu dari ALLAH SWT pertama kali pada hari senin tanggal 17 Ramadhan tahun ke-41 dari kelahirannya, bertepatan dengan tanggal 6 Agustus 610 M. Semenjak saat itu, Muhammad bin Abdullah memikul amanat nubuwwah dari ALLAH SWT untuk membawa agama islam ke tengah-tengah manusia, yang ternyata merupakan sebuah ajaran yang merombak system social, terutama system hukum yang ada pada masyarakat Jahiliyyah. Islam datang ke tengah-tengah masyarakat Jahiliyyah dengan membawa syari`ah (system hukum) yang sempurna sehingga mampu mengatur relasi yang adil dan egaliter antar individu manusia dalam masyarakat. Secara prinsip, kemunculan Nabi Muhammad SAW dengan membawa ajaran-ajaran egaliter, dapat dinillai sebagai sebuah perubahan social terhadap system hukum yang ada didalam masyarakat.
Hukum islam merupakan perintah-perintah suci dari ALLAH SWT yang mengatur seluruh aspek kehidupan setiap muslim, dan meliputi materi-materi hukum secara murni. Sedangkan syari`at islam adalah ajaran islam yang membicarakan amal manusia yang baik sebagai makhluk ciptaan ALLAH SWT maupun hamba ALLAH.  Pada periode Islam awal, yaitu periode Islam di Makkah, hukum Islam dimulai dengan tetap membiarkan praktek-praktek hukum yang telah ada di dalam masyarakat. Namun kemudian, dilakukan perubahan hukum secara bertahap, berdasarkan wahyu (al-Qur'an) dan sunnah Nabi Muhammad saw.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum Islam adalah syariat yang  berarti hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk umat-Nya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang berhubungan dengan amaliyah (perbuatan).

B.    System Hukum dan Sistem Nilai dalam Islam
Sebagai konsekuensi dari sebuah transformasi (perubahan) social, hukum Islam berposisi sebagai hukum yang berbeda dan merombak hukum Jahiliyyah. Dalam sejarah, Nabi Muhammad saw beserta para pemeluk Islam awal benar-benar membuat sikap kontra terhadap system hukum Jahiliyyah dalam perilaku dan tindak tanduk mereka, sehingga mendapatkan pertentangan yang keras dari para tokoh penegak system hukum Jahiliyyah. Dan bahkan kemudian, pendekatan Muhammad saw sebagai pembawa Islam awal terhadap kelompok yang 'terpinggirkan' dalam stratifikasi social untuk membawa ajaran Islam di masyarakat, juga menjadi poin penting dalam konsekuensi tersebut.
a.    System hukum islam meliputi 2 (dua)  bidang :
1.    Sistem Hukum Jahiliyyah Masyarakat Arab Pra-Islam
Suatu system hukum masyarakat yang tidak memiliki takdir keistimewaan tertentu, tidak memiliki nabi tertentu yang terutus dan memimpin serta tidak memiliki kitab suci khusus yang terwahyukan dan menjadi pedoman hidup.
2.     System Hukum Islam yang Revolusioner dan Egaliter
Suatu system hukum masyarakat yang yang harus dipegangi oleh manusia karena berasal dari ALLAH SWT dan membawa prinsip keadilan dan kesetaraan social.
b.    System nilai islam secara umum meliputi beberapa aspek:
1.    System nilai (syariat) yang mengatur hubungan manusia secara vertical yaitu syari`at yang berisikan ketentuan tentang tata cara peribadatan manusia kepada ALLAH SWT, seperti kewajiban shalat, puasa, zakat, dan haji ke Baitullah.
2.    Sistem nilai (syari`at) yang mengatur hubungan manusia secara horizontal yakni hubungan sesama manusia dan makhluk lainnya yang disebut Mu`amalah yang meliputi ketentuan perundang-undangan yang mengatur segala aktivitas hidup manusia dalam pergaulan dengan sesamanya dan dengan alam sekitarnya. Adanya subsistem Mu`amalah ini membuktikan bahwa islam tidak meninggalkan urusan dunia, bahkan tidak pula melakukan pemisahan antara persoalan dunia dan akhirat. Bagi islam ibadah yang diwajibkan Allah atas hamba-Nya bukanlah sekedar menjalankan peribadatan yang bersifat formal belaka, melainkan diperintahkan agar seluruh aktivitas  hidup yang dijalankan manusia hendaknya bernilai ibadah. Firman ALLAH SWT :
“Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali supaya beribadah kepada-Ku.” (Az-Zaariyat:56)
Hubungan horizontal ini disebut pula dengan istilah ibadah ghair mahdah atau ibadah umum, karena sifatnya umum dimana Allah dan Rasul-Nya tidak memerinci macam dan jenis perilakunya tetapi hanya memberikan prinsip-prinsip dasarnya saja.

a.    Asas Syara`
Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam al-Qur`an atau al-Hadist. Dimana al-Qur`an sebagai asas pertama syara` dan al-Hadist adalah asa kedua syara`. Sifatnya pada dasarnya  mengikat umat islam seluruh dunia dimanapun berada dari kerasulan Nabi Muhammad SAW sampai akhir zaman, kecuali dalam keadaan darurat atau keadaan yang memungkinkan umat islam tidak mentaati syari`at islam yaitu keadaan yang membahayakan diri secara lahir dan batin dan keadaan tersebut tidak diinginkan sebelumnya, namun jika keadaan darurat tersebut telah berakhir maka segera kembali kepada syari`at islam yang berlaku.
b.     Furu` syara`
Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam al-qur`an dan al-hadist. Kedudukannya sebagai cabang syari`at Islam, yang sifatnya pada dasarnya tidak mengikat seluruh umat islam. Perkara atau masalah yang masuk dalam furu` syara` ini juga disebut sebagai perkara ijtihadiyah.

C.    Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru
Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat). Sementara NU –yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya Soekarno[27]- bersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan, salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia. Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya.
Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi.
Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukunagn kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya menurut Hazairin, hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri.
Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama.

D.    Penutup
Dengan latar belakang hukum Jahiliyyah pra-Islam yang rasialis, feodal dan patriarkhis, Islam lahir dan muncul dengan membawa perubahan hukum dengan karakter yang bertolak belakang dengan hukum Jahiliyyah. Islam mengajarkan kesetaraan yang tergambar dari prinsip-prinsip dan hukum-hukumnya serta perilaku Nabi Muhamad saw beserta para pengikutnya yang menghendaki adanya kehidupan egaliter. Pertentangan Quraisy terhadap Islam yang berkaitan erat dengan aspek keagamaan dan aspek sosial merupakan suatu kontra terhadap sistem hukum Islam yang egaliter. Dan sebagai implikasinya, pemahaman terhadap hukum Islam harus diikuti dengan kesadaran bahwa hukum Islam itu memiliki karakter egaliter dan hal tersebut merupakan sebuah perubahan social dari hukum Jahiliyyah yang tidak egaliter menjadi hukum Islam yang egaliter.
Karena menegakkan yang ma’ruf haruslah juga dengan menggunakan langkah yang ma’ruf. Disamping itu, kesadaran bahwa perjuangan penegakan Syariat Islam sendiri adalah jalan yang panjang dan berliku, sesuai dengan sunnatullah-nya. Karena itu dibutuhkan kesabaran dalam menjalankannya. Sebab tanpa kesabaran yang cukup, upaya penegakan itu hanya akan menjelma menjadi tindakan-tindakan anarkis yang justru tidak sejalan dengan kema’rufan Islam. Proses “pengakraban” bangsa ini dengan hukum Islam yang selama ini telah dilakukan, harus terus dijalani dengan kesabaran dan kebijaksanaan. Demikianlah kesimpulan dari makalah ini, semoga bermanfaat.

1 komentar:

  1. Evolution Casinos » Real Money No Deposit Bonus Codes 2021
    Best Evolution Casino No Deposit Bonuses slot 뜻 and Free Spins 2021 · Top 야구분석 Live Casino 룰렛 프로그램 No Deposit Bonuses · Wild Casino 먹튀사이트 · Playtech Casino 먹튀검증 · LeoVegas Casino.

    BalasHapus

Tinggalkan coment anda untuk memperbaiki blog ini ya . . . ^_^")